Orang tua mana yang tidak ingin anaknya jadi anak terpelajar dan pintar? Berapapun biaya yang diperlukan (bila tersedia) akan dikeluarkan asalkan anak dapat mengenyam pendidikan. Sayangnya niat baik orang tua sudah lama tercium oleh Sekolah Swasta yang memanfaatkannya untuk menangguk keuntungan besar-besaran. Awal tahun ajaran baru merupakan ajang bagi Sekolah-sekolah Swasta untuk memeras orang tua murid bagaikan sapi perahan. Kesempatan emas setahun sekali ini tidak akan dilewatkan begitu saja, Sekolah Swasta dengan yakin seyakin-yakinnya memanfaatkan momen panen raya ini secara maksimum. Nampak dari luar seolah tenang, namun pasti, di dalam gedung Sekolah Swasta terjadi transaksi besar-besaran dengan omzet ratusan juta hingga milyaran rupiah (tergantung besar kecil sekolah). Arus dana mengalir dengan pasti dari kantong orang tua murid ke pundi-pundi Sekolah Swasta. Modus, dalih dan caranya bermacam-macam, ada yang harus cash (dana segar) atau kredit, tetapi hasilnya jelas bahwa semua akan masuk ke pundi-pundi sekolah. Simak beberapa pos yang dijadikan tool pemalakan oleh Sekolah Swasta. Biaya sekolah di Sekolah Negeri memang masih terjangkau rata-rata kantong orang tua, apalagi sekarang ada sekolah gratis hingga tingkat SMP, tapi nyatanya tidak semua orang tua dapat menyekolahkan anaknya di sekolah negeri karena berbagai alasan. Pilihan lain tidak ada selain sekolah swasta, keterpaksaan yang harus dijalani walau disadari Sekolah Swasta bagaikan raksasa kemaruk (rakus) yang mengetahui bahwa 'posisi tawar' orang tua murid sangat lemah sehingga berapapun besarnya uang yang diminta pasti akan digelontorkan orang tua asalkan anak bisa masuk atau meneruskan sekolah. Apa saja pos-pos yang dijadikan alat penghasil uang oleh Sekolah Swasta? Masyarakat seolah dibutakan dengan strategi Sekolah Swasta memeras uang orang tua murid, demikian pula Pemerintah memicingkan mata tidak peduli. Ada beberapa pos utama yang dijadikan alat penghasil uang oleh Sekolah Swasta, yaitu: 1. Uang Pendaftaran Ulang. 2. Uang Sekolah (SPP). 3. Uang Buku. 4. Uang Kegiatan. 5. Uang seragam. 6. Uang Pangkal. 7. Uang lain. 1. Uang Pendaftaran Ulang Daftar ulang memang perlu bagi murid yang naik kelas agar terhitung (masuk) dalam daftar untuk kelas berikutnya, sayangnya hal ini sering dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak sekolah untuk memeras orang tua. Ada Sekolah Swasta yang menarik uang pendaftaran ulang sebesar uang sekolah untuk 1 bulan, misalnya: Sekolah Tarsisius di Jakarta. Sebagai gambaran, uang sekolah di SMA Tarsisius 2 Jakarta Barat berkisar 500 ribu hingga 600 rupiah per bulan. Bisa diperkirakan berapa besar keuntungan 'gratis' yang diraih Sekolah dan seberapa banyak ortu yang kaget karena dipalak uangnya dalam jumlah yang sangat besar tanpa ada kemajuan signifikan pembayaran uang sekolah anaknya. Dalam tempo satu minggu harus menyetor sejumlah besar uang kepada pihak sekolah. Pertama, agar bisa mengambil raport ortu harus melunasi semua utang s/d akhir tahun yaitu uang sekolah bulan Juni, uang kegiatan 1 tahun dan cicilan uang pangkal. Kedua, uang pendaftaran ulang harus dibayar dalam tempo 2 hari kemudian. Daftar ulang biasanya dipatok tanggal sekian, dan jauh-jauh hari orang tua murid sudah diberitahu melalui surat bahwa anaknya harus didaftar ulang sebelum tanggal sekian dengan melunasi uang daftar ulang agar nama siswa terdaftar di kelas berikutnya. Nah, orang tua mana yang berani mengambil risiko dengan tidak mendaftarkan ulang anaknya? Jadi, orang tua murid terlihat seperti orang yang mengeluarkan dompet dengan todongan pistol di kepala. 2. Uang Sekolah (SPP) Uang sekolah memang perlu untuk operasional sekolah dan menggaji guru-guru, tetapi Sekolah Swasta selalu tahu cara memanfaatkan kebijakan kenaikan berkala SPP tahun sekali. Mereka dengan bengis menaikkan SPP setiap tahun ajaran baru yang jumlahnya bervariasi antara 10-20%. Penulis mengatakan 'dengan bengis' karena kenaikan SPP dilakukan TANPA KOMPROMI dengan orang tua. Mau orang tua mampu atau tidak mampu itu bukan urusan kita, demikian kira-kira (mungkin) isi kepala mereka. Bila orang tua murid kaget dengan kenaikan SPP dan menanyakan atau meminta penurunan SPP, biasanya hal ini sudah terlambat. Pengurus sekolah berdalih bahwa itu sudah kebijakan rutin setiap tahun yang tidak bisa dicegah karena biaya operasional mengalami peningkatan. Kesimpulannya, jarang ada uang sekolah yang sudah dinaikkan dapat diturunkan kembali ke posisi semula, kalaupun diturunkan itu cuma untuk menghibur orang tua murid, paling-paling diturunkan 'se encrit' (sedikit saja.) Apa yang didapat orang tua? alih-alih mendapat penurunan SPP, sebaliknya orang tua murid hanya 'mendapat malu' saja bagaikan pengemis yang bolak-balik kesekolah meminta SPP diturunkan kembali. 3. Uang Buku Nah ini merupakan pos penghasil uang yang paling 'legit' bagi sekolah swasta. Para orang tua murid pasti sudah tahu (sudah jadi rahasia umum) bahwa setiap tahun selalu ganti buku baru, atau maksimal hanya 2-3 buku saja yang tidak diganti. Tidak ada yang tahu berapa persisnya keuntungan yang diraih sekolah swasta dari 'permainan' buku ini, hanya orang-orang yang terlibat disana yang mengetahuinya. Bahkan, pihak Pemerintah pernah mengatakan bahwa Pemerintah sudah 'angkat tangan' terhadap permasalahan ('mafia') buku. Setiap tahun orang tua murid harus mengeluarkan uang 'cash keras' sekitar 400-800ribu rupiah per anak untuk membeli buku baru agar anaknya bisa belajar. Orang tua mana yang tega membayangkan anaknya menanggung malu karena harus melirik kekanan kekiri untuk melihat buku teman di sebelahnya ketika pelajaran berlangsung? Lagi-lagi orang tua murid jadi korban penzaliman oleh Sekolah Swasta yang bekerjasama dengan penerbit. 4. Uang Kegiatan Pos yang ini merupakan pos penghasilan sekolah yang seolah tidak nampak, tetapi disinilah sekolah swasta bisa banyak berdalih dalam besaran uang yang perlu 'dipalak' dari orang tua murid, misalnya untuk praktikum ini dan itu, wisata sambil belajar (study tour), kegiatan ini dan itu serta kegiatan olahraga. Untuk pos yang satu ini memang masih bisa dihutang atau dibayar secara cicilan oleh orang tua murid. Rupanya pihak sekolah ada sedikit kesadaran bahwa kantong ortu murid bisa kering (ada batasnya) maka untuk mencegah jangan sampai ortu murid menjadi beringas, uang kegiatan masih boleh dihutang tetapi tetap harus dilunasi sebelum kegiatan berlangsung. Orang tua mana yang ingin melihat anaknya mendapat malu karena tidak ikut kegiatan? Oleh karena itu uang kegiatan pasti (terjamin) akan dibayar orang tua, sekolah tahu itu! 5. Uang Seragam Kelihatannya sepele karena biasanya uang seragam tidak terlalu besar jumlahnya, tetapi dibalik itu, selalu ada keuntungan yang diraih Sekolah Swasta dari kebijakan seragam sekolah. Sekolah jauh dari image sebagai badan sosial atau penolong yang lemah tetapi telah berubah fungsi jadi pedagang eceran yang memanfaatkan peluang pasar. Orang tua mana yang tega membayangkan anaknya mendapat malu karena seragamnya sudah lusuh? Malunya anak adalah malunya orang tua, Sekolah Swasta sudah tahu rahasia ini sejak dahulu kala. 6. Uang Pangkal Sejak zaman dahulu, uang pangkal merupakan pos paling basah bagi Sekolah Swasta. Momen inilah yang setiap tahunnya diimpi-impikan para pimpinan Sekolah atau Yayasan yang membawahi Sekolah Swasta. Uang pangkal sungguh merupakan sumber penghasilan sangat menggiurkan bagi Sekolah Swasta. Pada umumnya, tidak ada yang tahu persis besaran jumlahnya per murid baru, hanya bisik-bisik antara Kepala Sekolah atau Pimpinan Yayasan dengan orang tua murid. Di sekolah sekolah swasta yang 'ngetop,' besarannya yang sangat bervariasi dari 'permukaan tanah hingga ke langit' itulah yang merupakan tempat bersemayam si drakula penghisap darah orang tua murid. Walaupun cara pembayarannya bisa mencicil, tetap saja orang tua menderita karena faktor jumlah rupiah yang terbilang 'wah.' Orang tua mana yang tega membiarkan si buah hati kecewa karena batal diterima di sekolah impiannya? pengurus di sekolah swasta sangat 7. Uang lain Diluar keenam jenis uang 'resmi' di atas, masih ada lagi pos-pos pemalakan lain yang dijadikan sumber income bagi Sekolah Swasta, misalnya: berbagai jenis sumbangan dengan dalih bermacam-macam. Ada sumbangan untuk pembangunan lahan parkir, pembangunan ruang kegiatan, dll. Eh, ada pula yang memakai modus baru, biar orang tua mau menyumbang maka diiming-imingi dengan undian berhadiah. Para pembaca, silahkan cari sendiri yah uang-uang lain yang dimintakan oleh sekolah pada awal tahun ajaran baru yang belum disebutkan di atas. Kesimpulan Keterpaksaan orang tua untuk membayar atau menandatangani surat hutang kepada pihak sekolah merupakan indikator bentuk nyata penzaliman yang setiap tahun dilakukan oleh Sekolah Swasta terhadap orang tua murid. SaranPemerintah sebaiknya jangan sibuk sendiri dengan program-programnya, cobalah perhatikan 'tingkah laku' Sekolah Swasta ketika peralihan tahun ajaran lama ke tahun ajaran baru. Ini saatnya, bertindaklah sekarang, tertibkan! buat peraturan baru bila peraturan yang ada sekarang belum sempurna atau diabaikan oleh Sekolah Swasta. Ingat, banyak murid yang bersekolah di Sekolah Swasta berasal dari keluarga 'kurang mampu.' Memberikan sanksi kepada Sekolah Swasta yang sewenang-wenang! berarti menyelamatkan rakyat dari penzaliman oleh bangsa sendiri. Siapa lagi yang berani dan mau berteriak di 'gurun pasir?' Referensi Sumber: www.andresfuenzalida.com |
Rabu, 13 Juli 2011
TAHUN AJARAN BARU, PELUANG BAGI SEKOLAH SWASTA MEMERAS ORANG TUA MURID!
Langganan:
Postingan (Atom)